JAKARTA, KOMPAS.com - Kejahatan seksual di dunia maya melalui media sosial sedang mengincar anak-anak dan remaja kita. Bagaimana cara orangtua melindungi mereka dari ancaman tersebut? Bekal dan pendidikan apa yang harus dimiliki para orangtua untuk menghadapi fenomena dan perilaku anak di era percepatan komunikasi ini.
Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) bagian perkembangan anak Vivi Savitri mengatakan, kejahatan seksual yang terjadi akibat lintas komunikasi yang pesat harus dilawan pula dengan kematangan komunikasi.
"Secara kognitif, anak-anak dan usia remaja masih belum bisa mengolah informasi secara matang tentang kegiatan seksual tersebut, seperti apa gunanya mereka belum tahu, bahkan dampak bagi mereka dan keluarganya masih rancu. Nah, ketidakmatangan berfikir anak ini yang seringkali dijadikan incaran orang-orang dewasa jahat," ungkap Savitri kepada Kompas.com saat mengomentari maraknya aksi kegiatan seksual anak di dunia maya, Kamis (1/11/2012).
Kepala Taman Pengembangan Anak Makara (TPAM UI) ini berpendapat, kejahatan seksual yang sering muncul akibat pemanfaatan media sosial setelah diajak kopi darat oleh teman dunia mayanya (dari Facebook terutama) adalah pemerkosaan.
"Selain itu ada juga fenomena lain seperti anak difoto untuk diupload di situs porno, baik dipaksa maupun karena anak tidak paham, dan tayangan pornografi yang ditayangkan dalam bentuk film kartun itu ada di situs anak-anak," lapornya.
Bagaimana pun bentuk perbuatan itu, hal ini berbahaya untuk anak karena belum masanya mereka terpaparkan dengan kegiatan seksual. Menurut Savitri, kegiatan seksual didefinisikan tidak hanya tayangan persetubuhan, akan tetapi paparan secara visual maupun auditory tentang kegiatan seksual pun masuk di dalamnya.
Lantas, bagaimana orangtua menghadapi fenomena tersebut? Savitri menjelaskan, tidak mungkin orangtua menghentikan secara utuh akses jaringan internet atau merenggut smartphone anak, apalagi memaksanya duduk manis di rumah sehingga tidak memiliki peluang bertemu orang-orang jahat di luar rumah. Itu mustahil.
Menurut Savitri, ada tiga hal penting yang harus dilakukan orangtua. Ketiga hal tersebut penting sekali dibangun seumur hidup oleh suatu keluarga di rumah agar risiko menjadi jauh lebih minim.
"Pertama membangun komunikasi yang baik dengan anak sedini mungkin. Komunikasinya mesti dua arah ya, jangan hanya searah, misalnya orangtua cuma memerintah terus, anaknya harus ikut perintah itu tanpa diberi kesempatan mereka bicara," katanya.
Dalam berkomunikasi dengan anak, orangtua juga sudah harus memahami bahasa mereka. Alih-alih mencontohkan kehidupan jaman dulu, kadang relevansinya tidak sesuai dengan kondisi anak sekarang.
"Jangan lagi bilang bahwa di jaman ayah dulu itu begini bla bla bla, ini beda jaman deh, tidak bisa dibanding-bandingkan dengan jaman dulu kita dibesarkan," tambahnya lagi. Komunikasi dua arah yang dimaksudkan Savitri juga, orangtua menerapkan aturan, diberitahukan secara jelas tentang aturan itu, serta anak diizinkan untuk mengemukakan pendapat.
"Yang kedua, apabila komunikasi dua arah sudah terjalin, kehangatan dan rasa aman serta nyaman di rumah pun akan terbentuk. Anak juga akan lebih terbuka kepada orangtua, memberitahu kepada orangtua apa yang sedang dia alami, pikirkan, dan rasakan. Kita sebagai orang dewasa pasti akan lebih memahami anak kita," tuturnya.
Savitri menjelaskan, anak yang nyaman dengan keluarga cenderung berperilaku baik. Meski terprediksi tidak ada manusia yang berperilaku baik 100% , namun setidak manusia butuj kenyamanan berkomunikasi, jika di dalam tidak ada, ia akan mencarinya di luar rumah dengan cara-cara yang mudah.
"Ketiga, saat anak diketahui akan berpotensi bermasalah, kita lebih mudah mengajaknya untuk memahami apa dampak dari berteman dengan orang dewasa di dunia maya, mengajak anak untuk lebih berhati-hati dengan sinyal-sinyal yang ditampilkan orang dewasa tersebut, serta apa yang harus dia lakukan apabila dalam kondisi tertentu diberitukan, dibekali pada mereka," ujarnya.
Savitri menambahkan, komunikasi harus disesuaikan dengan usia anak juga. Apabila orangtua melihat anaknya yang masih kecil tiba-tiba melihat tayangan di internet yang berbau pornografi, orangtua dapat mengalihkan ke hal-hal lain.
"Tetapi respon kita tidak ekstrim, nanti malah membuat dia bertanya-tanya ada apa dengan tayangan itu sehingga orangtua terlalu ketat menjaganya. Mereka jadi penasaran. Sampaikan secara lembut kegiatan apa yang tadi ditontonnya, kalau perlu ada penjelsan secara ilmiah, tetapi dengan trik dan cara orangtua masing-masing," ucapnya.
Editor :
Caroline Damanik
0 komentar:
Posting Komentar