Home » » Belajar sastra bisa cegah tawuran

Belajar sastra bisa cegah tawuran

Written By Dino Cerata on Sabtu, 06 Oktober 2012 | 04.57

ANTARA News - Nasional - Pendidikan
News And Service // via fulltextrssfeed.com
Belajar sastra bisa cegah tawuran
Oct 6th 2012, 11:25

Berita Terkait

Surabaya (ANTARA News) - Seorang praktisi pendidikan menyatakan pelajaran sastra intensif di sekolah dapat mencegah siswa berperilaku keras apalagi sampai tawuran dengan pelajar lain.

"Pemanfaatan sastra untuk menghaluskan jiwa itu memang membutuhkan intensitas yang tinggi serta proses yang panjang," kata guru sastra satu SMA di Ponorogo, Sutejo, kepada ANTARA, Sabtu.

Dosen STKIP Ponorogo itu mengemukakan, dalam teori sastra ada katarsis yang berarti sastra bisa menjadi ungkapan kata hati, baik yang menulis maupun yang membacanya.

Dalam psikologi sastra, katanya,  suatu karya mencerminkan isi hati penulisnya dan sastra juga bisa menyembuhkan.

Menurut penulis produktif itu, negara-negara maju sudah melakukan pembelajaran sastra untuk penanaman karakter kepada para siswanya.

Metodenya, mewajibkan siswa membaca buku sastra, isalnya dalam satu semester per siswa wajib membaca tiga hingga empat novel. Itu belum termasuk cerpen dan puisi. Secara tidak langsung hal itu yang disentuh adalah moral dan rasa siswa.

Indonesia, kata dia, sebetulnya sudah memiliki program bagus untuk kegiatan sastra itu, yakni Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) yang dimotori sastrawan Taufik Ismail pada 2002. Para sastrawan itu mendatangi sekolah-sekolah di pelosok Tanah Air.

Kedatangan sastrawan besar ke suatu daerah, kata Sutejo, tentu membawa aura semangat tersendiri siswa untuk belajar sastra.

"Menurut saya, pemerintah harus memperhatikan pelajaran sastra karena berkait dengan pendidikan karakter. Misalnya Laskar Pelangi atau Negeri Lima Menara. Novel-novel itu mengajarkan moralitas dan motivasi bagi pembacanya," katanya.

Hanya saja, kata Sutejo, melirik sastra sebagai sarana penanaman karakter bangsa yang berkeadaban menghadapi banyak kendala yakni kebijakan pemerintah yang belum mendorong sastra sebagai pelajaran bergengsi  dan guru-guru yang tidak suka membaca sastra.

Hal itu, diperparah oleh realitas bahwa perpustakaan di sekolah tidak lengkap menyediakan buku-buku karya sastra yang menarik minat siswa.

"Sastra yang lentur bisa mendekatkan guru dengan siswa secara batiniah sehingga tindakan-tindakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan bisa dicegah," katanya.

Sutejo mengemukakan bahwa kekerasan antarpelajar yang berujung tawuran itu sedikit banyak telah diajarkan oleh televisi yang banyak menampilkan kekerasan, termasuk tingkah politisi di legislatif yang bertengkar lewat kata-kata di berbagai forum.

"Salah satunya cara adalah mengokohkan fungsi keluarga. Komunikasi keluarga agar lebih baik lagi. Kalau melalui pendidikan agama dan PKn di sekolah, siswa sekarang sudah cenderung kebal. Ini karena agama hanya diajarkan secara kognitif belaka, bukan penanaman moral lewat pembiasan-pembiasaan," katanya.

Menurut dia, konsep-konsep pendidikan di Indonesia sangat bagus tapi kemudian tak bermakna karena hanya mengedepankan aspek kognitif.

(M026)

Editor: Jafar M Sidik

COPYRIGHT © 2012

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Komentar Pembaca

Kirim Komentar

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Artikel pendidikan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger